Rabu, 23 Juli 2008

mengapa siswa mencontek

Ujian dan ulangan umum sudah lewat. Hasil ujian dan ulangan itu merupakan salah satu kriteria yang dipakai guru dalam menentukan keberhasilan. Tak dimungkiri lagi, dalam pelaksanaan ujian dan ulangan itu sebagian siswa-siswi mencontek. Bahkan, saat ini mencontek sudah merupakan budaya dalam belajar.

Padahal, arti belajar tidak sesederhana itu. Belajar berarti proses aktivitas mental yang terjadi melalui interaksi aktif individu dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai yang relatif konstan. Maka, benar kata Wilson Miler, ”Saya mengetahui tak terhitung banyak orang belajar, tetapi mereka tidak pernah berpikir”.

Siswa-siswi ada peluang mencontek karena proses pembelajaran selama ini lebih menekankan pada monodisiplin ilmu. Setiap guru hanya sibuk dengan materi mata pelajaran atau bidang studinya. Guru hanya berorientasi target menyelesaikan materi sehingga ada banyak konsep dan teori yang diberikan kepada peserta didik.

Walaupun kurikulum tingkat satuan pelajaran menetapkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), praktiknya belum mendapat perhatian. Guru kurang, bahkan tidak memperhatikan proses pembelajaran yang menantang, menyenangkan, mendorong siswa bereksplorasi dan mengembangkan kecakapan berpikir.

Guru harus mendorong siswa berpikir tentang apa yang baru dipelajari, menghubungkan pengetahuan (konsep atau teori) dengan melakukan refleksi pada apa yang telah diperoleh, manfaatnya, dan bagaimana selanjutnya dalam hidup siswa. Maka, guru perlu reorientasi pembelajaran yang monodisiplin ilmu.

Kalau guru itu konsisten dengan SK dan KD, tentu tidak menggunakan model pembelajaran monodisiplin. Sudah saatnya guru menerapkan pembelajaran model interdisiplin ilmu. Pembelajaran seperti ini bukan baru dipopulerkan. Menurut Conny R Semiawan, 500 tahun yang lalu sebenarnya Phytagoras sudah menerapkan pembelajaran interdisiplin.

Phytagoras sudah mengombinasikan matematika dan musik, yaitu adanya bunyi yang harmonis dalam bilangan 1 sampai 5. Pembelajaran dengan cara mengombinasikan interdisiplin ini disebut active interplay (AI). Sebenarnya, kita ini angkatan yang telat mikir (telmi). Baru sekarang kita mulai berpikir tentang gagasan Phytagoras itu.

Tanpa pertimbangan

Guru merupakan garda paling depan dalam membentuk peserta didik yang cerdas secara intelektual, dan terampil.

Banyak konsep dan teori yang diberikan kepada peserta didik tanpa mempertimbangkan itu bermanfaat, sesuai dengan minat dan kebutuhan, serta lingkungan siswa. Peserta didik yang pandai tidak mengalami kesulitan walaupun banyak konsep dan teori. Akan tetapi, peserta didik yang kemampuannya tergolong sedang, bahkan lemah ini menjadi beban dan tekanan psikis. Mereka akan merasa takut, stres, dan tidak tenang. Kalau dia sudah dihinggapi tekanan psikis, mau tidak mau jalan terbaik baginya mencontek. Salah dan dosa siapa?

Jadi, sangat tidak proporsional guru menilai kecerdasan anak hanya berdasarkan pada mampu tidaknya menjawab pertanyaan ujian atau ulangan karena kuat menghafal. Yang tidak bisa menghafal divonis tidak pandai. Di sinilah guru ataupun peserta didik terjebak. Mereka sama-sama mengejar angka-angka (nilai) sebagai simbol kepandaian, padahal hasilnya menghafal. Pun tidak sekadar menghafal, tetapi masih dibantu oleh kepandaian ”menyontek”. Kita sebenarnya membuang jauh hal yang prinsip dalam pendidikan di sekolah, yaitu non scolae sed vite dicimus.

Pendidikan dan pembelajaran perlu reorientasi kembali. Ia tidak sekadar mengagungkan angka-angka (nilai) di atas kertas karena hasil menghafal dan mencontek (konsep dan teori).

Apa gunanya selama proses belajar mempunyai banyak konsep dan teori, tetapi peserta didik tidak mampu menerapkannya dalam hidup yang praktis. Setelah selesai ujian atau ulangan, selamat tinggal konsep dan teori. Ini semua karena indikasi dari pembelajaran dengan cara monodisiplin.

Sekarang saatnya kita menerapkan model pembelajaran yang interdisiplin ilmu. Model ini menghendaki guru mengadakan kolaborasi antarmata pelajaran sehingga menstimulasi cara berpikir yang kritis dan kreatif para peserta didik. Mereka pun terbantu karena mengetahui apa manfaat baginya. Di sini akan melahirkan motivasi dan minat yang tinggi untuk belajar.

Tidak ada komentar: