Rabu, 23 Juli 2008

budaya mencontek

Mencontek dan menjiplak bukan dominasi murid sekolah. Banyak ditemukan, skripsi dan tesis mahasiswa pascasarjana yang hanya copy-paste (proses mencetak ulang-menempel di komputer) dari karya orang lain. Bahkan juga guru-guru yang mengikuti seminar dan diklat bohong-bohongan hanya demi selembar sertifikat.

Pada tingkat sekolah dasar, berbagai trik dan cara dilakukan siswa untuk mencontek dengan cara sangat sempurna. Dari menyalin pelajaran di kertas-kertas kecil kemudian diselipkan di tempat tertentu hingga menulis materi pelajaran di meja. Mereka yang melek teknologi informasi dapat memanfaatkan telepon genggam sebagai sarana mencontek.

Mereka yang orangtuanya kelebihan uang dapat membeli bocoran soal dan kunci jawabannya sekaligus. Yang paling licik, mereka selalu mengawasi guru, yang seharusnya mengawasi murid-murid itu. Bekerja dengan usaha sendiri dan perilaku jujur sudah menjadi barang langka.

Mengapa siswa sekolah yang seharusnya telah mendapatkan pelajaran budi pekerti itu berlaku tidak jujur?

Kebiasaan Mencontek akibat Kurang Membac

Kebiasaan mencontek dan menjiplak karya orang lain menunjukkan masih rendahnya kesadaran membaca. Hal itu tidak terlepas dari kurangnya ketersediaan buku bacaan. Sebagian besar penerbit belum berani mengambil risiko menerbitkan karya ilmiah dan lebih senang menerbitkan buku pelajaran.

Pembantu Rektor I Universitas Airlangga (Unair) Fasich menuturkan, penulisan karya ilmiah di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan. Karya ilmiah kerap dibuat dengan jalan mengutip suatu sumber namun tidak menyebutkan sumber tersebut. "Tidak jarang pengutipan itu juga salah," ujarnya di sela-sela Pameran Buku Bersama di Perpustakaan Kampus B Unair Surabaya, Rabu (17/5).

Lebih lanjut Fasich menyatakan, menulis belum menjadi budaya di kalangan akademisi. Padahal, hal itu penting sebagai sarana penyampaian gagasan dan bukti kerja ilmiah.

Pencontekan atau penjiplakan bisa dihindari bila penulis terbiasa membaca. Dengan membaca, penulis akan punya wawasan luas sehingga bisa memformulasikan pemikiran sendiri dan tidak perlu mencontek. "Penulis akan tahu cara mengutip yang baik kalau pernah membaca cara menulis karya ilmiah," katanya menjelaskan.

Kepala Perpusatakaan Unair Pujiono menuturkan, saat ini akses publik terhadap buku masih rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif perpustakaan agar publik lebih mudah mengakses buku. "Mengunjungi perpustakaan memang belum menjadi budaya masyarakat. Seharusnya perpustakaan kampus menjadi pusat kegiatan sivitas akademikanya," ujarnya.

Peran perpustakaan tidak dapat berjalan dengan baik bila tidak didukung kesediaan kalangan penerbit mencetak bacaan yang bervariasi. Masalahnya, selama ini jarang ada penerbit berani menerbitkan bacaan beragam.

Sebagian besar penerbit lebih suka menerbitkan buku pelajaran karena pasarnya jelas. Pada buku jenis lain, konsumennya amat rendah sehingga keuntungan sulit diraih. Airlangga University Press, Andi, Bumi Aksara, Erlangga, Ghalia Indonesia, Kanisius, Prenada Media, Remaja Rosdakarya, TB Fenross, dan penerbit Salemba Empat yang mengikuti pameran di Unair dari 17 Mei hingga 2 Juni menunjukkan hal itu. Sebagian besar buku yang dipamerkan merupakan buku pelajaran dan penunjang pelajaran, misalnya buku kumpulan teori.

Menurut Pujiono, selain pameran, akan diselenggarakan lokakarya penulisan dan pengenalan editorial pada Senin (22/5). Lokakarya itu diharapkan bisa memacu semangat dosen dan mahasiswa untuk menulis.

mengapa siswa mencontek

Ujian dan ulangan umum sudah lewat. Hasil ujian dan ulangan itu merupakan salah satu kriteria yang dipakai guru dalam menentukan keberhasilan. Tak dimungkiri lagi, dalam pelaksanaan ujian dan ulangan itu sebagian siswa-siswi mencontek. Bahkan, saat ini mencontek sudah merupakan budaya dalam belajar.

Padahal, arti belajar tidak sesederhana itu. Belajar berarti proses aktivitas mental yang terjadi melalui interaksi aktif individu dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai yang relatif konstan. Maka, benar kata Wilson Miler, ”Saya mengetahui tak terhitung banyak orang belajar, tetapi mereka tidak pernah berpikir”.

Siswa-siswi ada peluang mencontek karena proses pembelajaran selama ini lebih menekankan pada monodisiplin ilmu. Setiap guru hanya sibuk dengan materi mata pelajaran atau bidang studinya. Guru hanya berorientasi target menyelesaikan materi sehingga ada banyak konsep dan teori yang diberikan kepada peserta didik.

Walaupun kurikulum tingkat satuan pelajaran menetapkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), praktiknya belum mendapat perhatian. Guru kurang, bahkan tidak memperhatikan proses pembelajaran yang menantang, menyenangkan, mendorong siswa bereksplorasi dan mengembangkan kecakapan berpikir.

Guru harus mendorong siswa berpikir tentang apa yang baru dipelajari, menghubungkan pengetahuan (konsep atau teori) dengan melakukan refleksi pada apa yang telah diperoleh, manfaatnya, dan bagaimana selanjutnya dalam hidup siswa. Maka, guru perlu reorientasi pembelajaran yang monodisiplin ilmu.

Kalau guru itu konsisten dengan SK dan KD, tentu tidak menggunakan model pembelajaran monodisiplin. Sudah saatnya guru menerapkan pembelajaran model interdisiplin ilmu. Pembelajaran seperti ini bukan baru dipopulerkan. Menurut Conny R Semiawan, 500 tahun yang lalu sebenarnya Phytagoras sudah menerapkan pembelajaran interdisiplin.

Phytagoras sudah mengombinasikan matematika dan musik, yaitu adanya bunyi yang harmonis dalam bilangan 1 sampai 5. Pembelajaran dengan cara mengombinasikan interdisiplin ini disebut active interplay (AI). Sebenarnya, kita ini angkatan yang telat mikir (telmi). Baru sekarang kita mulai berpikir tentang gagasan Phytagoras itu.

Tanpa pertimbangan

Guru merupakan garda paling depan dalam membentuk peserta didik yang cerdas secara intelektual, dan terampil.

Banyak konsep dan teori yang diberikan kepada peserta didik tanpa mempertimbangkan itu bermanfaat, sesuai dengan minat dan kebutuhan, serta lingkungan siswa. Peserta didik yang pandai tidak mengalami kesulitan walaupun banyak konsep dan teori. Akan tetapi, peserta didik yang kemampuannya tergolong sedang, bahkan lemah ini menjadi beban dan tekanan psikis. Mereka akan merasa takut, stres, dan tidak tenang. Kalau dia sudah dihinggapi tekanan psikis, mau tidak mau jalan terbaik baginya mencontek. Salah dan dosa siapa?

Jadi, sangat tidak proporsional guru menilai kecerdasan anak hanya berdasarkan pada mampu tidaknya menjawab pertanyaan ujian atau ulangan karena kuat menghafal. Yang tidak bisa menghafal divonis tidak pandai. Di sinilah guru ataupun peserta didik terjebak. Mereka sama-sama mengejar angka-angka (nilai) sebagai simbol kepandaian, padahal hasilnya menghafal. Pun tidak sekadar menghafal, tetapi masih dibantu oleh kepandaian ”menyontek”. Kita sebenarnya membuang jauh hal yang prinsip dalam pendidikan di sekolah, yaitu non scolae sed vite dicimus.

Pendidikan dan pembelajaran perlu reorientasi kembali. Ia tidak sekadar mengagungkan angka-angka (nilai) di atas kertas karena hasil menghafal dan mencontek (konsep dan teori).

Apa gunanya selama proses belajar mempunyai banyak konsep dan teori, tetapi peserta didik tidak mampu menerapkannya dalam hidup yang praktis. Setelah selesai ujian atau ulangan, selamat tinggal konsep dan teori. Ini semua karena indikasi dari pembelajaran dengan cara monodisiplin.

Sekarang saatnya kita menerapkan model pembelajaran yang interdisiplin ilmu. Model ini menghendaki guru mengadakan kolaborasi antarmata pelajaran sehingga menstimulasi cara berpikir yang kritis dan kreatif para peserta didik. Mereka pun terbantu karena mengetahui apa manfaat baginya. Di sini akan melahirkan motivasi dan minat yang tinggi untuk belajar.